Thursday, December 29, 2011

Akuntabilitas Intelijen Negara

Akuntabilitas Intelijen Negara


Hendardi
Gagasan Hukum
13-06-2011

Berbagai peristiwa mutakhir terkait dengan aksi terorisme dan penetrasi sistematis gerakan Negara Islam Indonesia (NII) menjadi argumentasi baru otoritas keamanan untuk mempercepat pengesahan RUU Intelijen Negara.

Pemanfaatan peristiwa mutakhir untuk melegitimasi hasrat politik mempercepat pengesahan RUU Intelijen jelas tidak relevan karena secara fungsional tugas-tugas intelijen sesungguhnya sudah berjalan di berbagai institusi negara. Badan Intelijen Negara (BIN), Polri, TNI, dan kementerian terkait selama ini telah memiliki legitimasi yuridis menjalankan fungsi intelijen.

Hasrat politik ini harus dibendung mengingat berbagai kontroversi dalam RUU Intelijen masih cukup serius, salah satu yang utama adalah soal akuntabilitas intelijen negara.

Perlu Intelijen Kuat

Negara memang membutuhkan intelijen yang kuat, terkontrol, akuntabel, dan menghormati hak asasi manusia. Tapi, penguatan intelijen negara dilakukan tidak dengan materi sebagaimana substansi yang saat ini tersedia dalam RUU Intelijen. Bukan juga karena argumentasi yang sederhana, tapi sungguh-sungguh ditujukan untuk kepentingan bangsa dalam mencapai tujuan nasionalnya.

Definisi tentang intelijen dalam RUU Intelijen secara umum telah mengadopsi definisi yang selama ini lazim digunakan di berbagai negara. Meskipun dalam hal kewenangan, RUU ini memperluas wewenangnya melampaui definisi yang dirumuskannya. Yang menjadi persoalan adalah rumusan Pasal 1 (2) yang menyatakan bahwa “intelijen negara adalah lembaga pemerintah yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan fungsi intelijen”.

Rumusan definisi sebagaimana disebutkan di atas bertolak belakang dengan landasan filosofis pembentukan RUU ini sebagaimana disebutkan dalam konsideran “menimbang (a), yakni untuk mewujudkan tujuan nasional”. Sebagai instrumen mewujudkan tujuan nasional negara,sudah seharusnya intelijen negara diletakkan sebagai lembaga negara, bukan lembaga pemerintah nondepartemen sebagaimana sebelumnya.

Penegasan ini penting karena kepatuhan intelijen bukan kepada pemerintah yang berkuasa, tapi pada kepentingan nasional untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Penyelenggaraan intelijen sebagaimana pengalaman di masa Orde Baru menunjukkan bahwa kepatuhan intelijen memusat kepada presiden tanpa kontrol dan tanggung jawab lain selain kepada presiden.

Momentum pembahasan RUU Intelijen harus diletakkan sebagai pembuka reformasi sektor intelijen secara holistis. Penegasan posisi intelijen sebagai lembaga negara juga memungkinkan aparatus intelijen menolak perintah penguasa yang bertentangan dengan tujuan nasional negara.

Soal Akuntabilitas

Intelijen dan hak asasi manusia adalah isu yang dewasa ini menjadi salah satu perhatian utama komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya dalam rangka pencegahan terorisme.Meskipun belum ada sebuah standar internasional tentang bagaimana sebuah kerja badan intelijen, ada kesepakatan internasional bahwa dalam menjalankan kerjanya, badan intelijen harus mematuhi prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.

Perlu ada keseimbangan di satu sisi untuk melindungi keamanan nasional dan di sisi lain untuk menghormati hak asasi manusia.Tiga prinsip dasar yang menjadi titik temu: menjaga nilai-nilai demokrasi, melindungi keamanan nasional,dan menghormatihak asasi manusia.

RUU Intelijen mengatur soal akuntabiltas dengan tiga bentuk akuntabilitas. Pertama, melalui presiden di mana seluruh laporan kinerja intelijen negara akan dilaporkan kepada presiden; kedua, melalui penegakan kode etik oleh Dewan Kehormatan Intelijen Negara; dan ketiga pengawasan oleh DPR seperti diatur dalam Pasal 37.

Sebagai sebuah institusi yang melakukan kerja intelijen dan rahasia, tiga medium pertanggungjawaban dan pengawasan sebagaimana disebutkan di atas jelas tidak memadai. Potensi penyalahgunaan wewenang oleh intelijen sama sekali tidak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum.

Komunitas internasional menyadari untuk memperkuat akuntabilitas badan intelijen perlu ada pengawasan eksternal (external oversight) yang imparsial, sepenuhnya independen, dan tidak memiliki kepentingan politik. Pengawasan eksternal dilakukan oleh, pertama, parlemen; kedua, pengadilan; dan ketiga adalah an external overseeing body (badan pengawas eksternal).

Dalam konteks negara demokrasi yang menjunjung tinggi HAM sudah seharusnya intelijen diatur secara ketat sehingga pelanggaran HAM dapat ditekan sekecil mungkin. Namun, draf RUU Intelijen Negara yang ada justru sejak awal mengusung maksud membatasi hak asasi manusia. Sangat jelas bagaimana Pasal 28 J UUD Negara RI 1945 dijadikan dasar hukum untuk melegitimasi pembatasan HAM dalam penyelenggaraan intelijen negara.

An external overseeing body mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengawasan terhadap kerja badan intelijen. Bahkan badan ini dapat melakukan investigasi terhadap aktivitas yang dilakukan intelijen dan melaporkan hasilnya ke parlemen dan publik. Untuk itu badan ini harus bisa memiliki akses terhadap informasi yang bersifat rahasia.

Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini juga menegaskan bahwa intelijen negara bukan tunduk kepada pemerintah yang berkuasa, tapi tunduk pada politik negara dan dalam rangka mencapai tujuan nasional. Fungsi badan ini adalah menangani komplain dan investigasi untuk mengaudit kinerja intelijen.Jadi,komite pengawas akan menyelidiki, menginvestigasi, masuk sampai tingkat tertentu, lalu menyusun sebuah laporan dan rekomendasi.

Hasil yang diharapkan dari oversight committee ini adalah tanggungjawab kepada publik dan akuntabilitas kinerja. (Sumber: Suara Indonesia, 11 Juni 2011)

Tentang penulis:
Hendardi, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute

No comments:

Post a Comment